Sumber : http://www.pajak.go.id/content/article/gebrakan-masif-e-spt-masa-pph-pasal-21
Senin, 20 Januari 2014 – 17:07
Oleh Rizmy Otlani Novastria, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Keluar dari zona nyaman serta melakukan gebrakan-gebrakan baru untuk menuju sistem administrasi perpajakan Indonesia yang dapat diandalkan seolah menjadi program tiada henti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dewasa ini. Berbagai upaya masif telah dilaksanakan DJP untuk memperbaiki sistem administrasi PPN yang diharapkan mampu mewujudkan pilot project e-Tax Invoice pada tahun 2014. Seolah tak ingin setengah-setengah dalam beraksi, DJP ternyata tidak hanya memfokuskan diri pada bidang PPN saja, namun juga mulai mengambil langkah pada jenis pajak penghasilan, yakni dengan melakukan pengembangan e-SPT PPh dan e-Bukti Potong pada tahun 2017 untuk memperbaiki sistem administrasi PPh dan meminimalisasi kredit pajak yang tidak sah. Oleh karena itu, DJP mencanangkan PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang mulai berlaku per 1 Januari 2014.
PER-14/PJ/2013 merupakan perubahan PER-32/PJ/2009 yang membahas mengenai perubahan SPT Masa PPh Pasal 21/Pasal 26 serta bentuk bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/ atau pasal 26. Perdirjen ini diluncurkan sebagai langkah awal pengembangan SPT yang direncanakan akan berlangsung mulai tahun 2014 hingga tahun 2017. Pada tahun 2014 ini, Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan diwajibkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk e-SPT.
Ketentuan tersebut berlaku untuk pemotong yang melakukan pemotongan terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 orang dalam satu masa pajak, dan/atau melakukan pemotongan PPh Pasal 21 Tidak Final dan/atau pasal 26 dengan bukti potong yang jumlahnya lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak, melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 dalam satu masa pajak, dan/atau melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk. yang jumlahnya lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak.
Dalam hal Wajib Pajak telah melaporkan SPT menggunakan e-SPT, WP wajib menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh DJP dan harus menggunakan e-SPT tersebut untuk masa-masa selanjutnya. Artinya WP tidak boleh kembali menggunakan SPT manual/hardcopy. Jika WP yang telah memenuhi ketentuan di atas tidak menyampaikan SPT dalam bentuk e-SPT, maka WP dianggap tidak menyampaikan SPT dan akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku dalam pasal 7 UU KUP, yaitu denda seratus ribu rupiah untuk setiap masa.
Pilot project tersebut direncanakan akan dilanjutkan dengan launching e-SPT Masa PPh lainnya antara lain e-SPT Masa Pasal 22, 23, dan 4 ayat (2) pada tahun 2014. Direncanakan pada tahun 2017 DJP akan melaksanakan launching e-Bukti Potong dan e-SPT Tahunan PPh Badan yang diawali dengan piloting di KPP Pratama terlebih dahulu pada tahun 2016.
Latar belakang diluncurkannya PER-14/PJ/2013 ini lebih dikarenakan kesulitan dalam pengawasan pelaporan PPh 21 per bulan (Januari s.d. November). Data selama ini disampaikan secara gelondongan oleh perusahaan sehingga tidak ada rincian untuk setiap masa pajak. Dengan demikian PER-14/PJ/2013 ini mewajibkan perincian daftar pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak. Selain itu, DJP seringkali mengalami kesulitan dalam matching data bukti potong sebab penomoran bukti potong tidak terstruktur. Solusi yang disediakan adalah dengan melakukan standarisasi penomoran bukti potong.
Isu lainnya yang sempat muncul ialah lambatnya penyediaan data SPT di database dikarenakan proses perekaman SPT yang relatif lambat dan cakupan penggunaan e-SPT masih sedikit. Hal tersebut mengakibatkan ketertiban pengarsipan file dalam sistem dan pengawasan SPT masa PPh pasal 21 menjadi tidak maksimal. Dengan demikian PER-14 menawarkan solusi dengan memperluas cakupan pengguna e-SPT PPh Pasal 21 sebagaimana diwajibkan untuk pemotong dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas.
Latar belakang pembentukan Perdirjen ini selanjutnya adalah pada regulasi lama, e-SPT tidak mengakomodir pertukaran data dengan negara lain terutama yang berkaitan dengan PPh Pasal 26. Melalui PER-14/PJ/2013, hal tersebut diakomodir dengan membuat regulasi mengenai peluang terjadinya pertukaran data dengan negara lain terutama dalam kaitannya dengan PPh Pasal 26. Hal urgent berikutnya yang diatur dalam PER-14/PJ/2013 adalah ketentuan untuk mencantumkan ‘key’ yang dapat menjadi penghubung antara data SPT antara data SPT dan bukti potong dengan data pihak ketiga, misal: NIK (Nomor Induk KTP). Pencantuman NIK ini didasarkan atas pertimbangan bahwa segala dokumen kependudukan untuk kedepannya akan dikaitkan dengan nomor Kartu Tanda Penduduk sebagai upaya mewujudkan Single Identity Number (SIN).
Hal terakhir yang melatarbelakangi diluncurkannya PER-14 ini adalah bahwa formulir SPT Masa PPh 21 sebagaimana dimaksud dalam PER-32/PJ/2009 belum selaras dengan PMK-262/PMK.03/2010 dan PMK-16/PMK.03/2010 sebab kedua PMK tersebut diterbitkan setelah PER-32/PJ/2009 muncul. Oleh karena itu dalam PER-14 dilakukan penyesuaian formulir dengan menambahkan informasi ‘PPh atas penghasilan teratur yang terpisah dengan gaji’ dalam bukti potong.
Mengenai perubahan-perubahan dalam PER-14/PJ/2013 sendiri pada dasarnya ada tujuh pokok perubahan penting. Pertama adalah perluasan kategori pengguna e-SPT PPh Pasal 21/26 sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Kedua mengenai penambahan lampiran daftar pemotongan PPh Pasal 21/26 yang harus dilaporkan setiap bulan dalam formulir 1721-I. Pada masa pajak Desember, lampiran 1721-I ini harus disampaikan dalam dua lembar, yaitu yang pertama untuk daftar pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tetap selama satu tahun termasuk pegawai yang keluar, dan kedua adalah daftar pemotongan PPh Pasal 21 selama masa Desember itu sendiri. Lampiran 1721-I ini memiliki dua bagian yaitu bagian A untuk pemotongan terhadap pegawai tetap yang memiliki penghasilan di atas PTKP dan yang kedua adalah bagian B merupakan jumlah penghasilan pegawai tetap yang memiliki penghasilan di bawah PTKP dan jumlah tersebut tidak perlu dirincikan sebab penyajiannya adalah dengan jumlah yang digunggung.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, bahwa selama ini DJP mengalami kesulitan dalam matching data bukti potong sebab penomoran yang tidak terstandarisasi. Oleh karena itu dalam PER-14/PJ/2013 ini diatur mengenai standarisasi penomoran bukti potong yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:
1.3-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21/26 tidak final;
1.4-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21 final;
1.1-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT;
1.2-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi PNS, anggota TNI/POLRI, pejabat negara dan pensiunannya.
Penyesuaian desain SPT agar lebih scan-friendly menjadi fokus keempat atas latar belakang dibentuknya PER-14/PJ/2013. Hal yang diakomodir tentang desain SPT berkaitan dengan penyediaan space untuk penempelan barcode SPT pada induk SPT, penyediaan area penulisan hasil penghitungan jumlah lembar SPT, dan area penstaplesan induk dan lampiran SPT, serta penambahan identitas di setiap halaman formulir.
Perubahan selanjutnya adalah penambahan beberapa informasi dalam bukti potong seperti negara domisili, NIK/ No. Paspor, dan Kode Obyek Pajak. Selain itu, lampiran 1721-II dan 1721-T sesuai PER-32/PJ/2009 juga dihapus karena telah dicantumkan dalam lampiran 1721-I menurut PER-14/PJ/2013. Perubahan terakhir dalam PER-14/PJ/2013 tersebut adalah penyesuaian informasi pada SPT PPh Pasal 21 induk bagian C tentang objek pajak final. Penyesuaian tersebut adalah dibedakannya baris antara penerima penghasilan uang pesangon yang dibayarkan sekaligus dengan penerima uang manfaat pensiun, THT atau JHT dan pembayaran sejenis yang dibayarkan sekaligus sebab kedua jenis penghasilan tersebut memiliki lapisan tarif yang berbeda.
E-SPT masa PPh Pasal 21 merupakan program baru dimana Wajib Pajak masih kurang familiar terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, penggunaan e-SPT oleh Wajib Pajak seringkali mengalami kendala, misalnya error dalam hal penginstallan serta impor file csv. WP seringkali tidak tahu dimana telah terjadi kesalahan karena tidak ada petunjuk penggunaan e-SPT. Oleh karena itu dalam hal ini assistance oleh AR maupun fiskus sangat dibutuhkan. Akan lebih baik bila launching e-SPT ini juga disertai manual e-SPT. Menurut keterangan dari pihak DJP, impor file hanya bisa dilakukan atas file csv karena selama ini jenis file tersebut yang dirasa paling aman dan ringan untuk masuk dalam sistem.
Mengenai standarisasi nomor bukti potong, format tujuh digit angka terakhir tidak diakomodir dalam e-SPT. Perusahaan yang memiliki banyak cabang akhirnya terpaksa menentukan format tersendiri dan harus diinput secara manual. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kesulitan bagi Wajib Pajak karena harus mengingat nomor kode cabang secara manual, bukan secara sistem. Disarankan agar e-SPT mengakomodir tersebut. Misalnya, WP dapat menge-set bahwa tiga digit pertama merupakan kode cabang yang dapat di-save sebagai referensi dalam aplikasi, kemudian empat digit berikutnya merupakan nomor urut yang muncul secara sistem sehingga penginputan nomor pada akhirnya tidak perlu dilakukan secara manual.
Beberapa Wajib Pajak juga mengeluhkan bahwa cetakan nama dan alamat yang telalu panjang dalam Bukti Potong ternyata tidak muncul sebagian karena terpotong. Oleh karena itu, DJP hendak meninjau dan mengecek ulang aplikasi e-SPT yang ada untuk melakukan perbaikan di beberapa bagian. Mengenai PER-14/PJ/2013 sendiri, terdapat sedikit kesalahan, yaitu ketentuan yang menyebutkan bahwa pencantuman nama dan NPWP pemotong dalam bukti potong adalah orang yang menandatangani bukti potong tersebut, padahal seharusnya adalah nama dan NPWP perusahaan. Oleh karena itu DJP berencana akan dilakukan pembahasan lebih lanjut serta melakukan revisi PER-14/PJ/2013. Wajib Pajak juga memberikan saran untuk aplikasi e-SPT bahwa aplikasi seharusnya mengakomodir menu peng-crosscheck-an nama yang berhak menandatangani SPT agar SPT tidak disalahgunakan.
Pada akhirnya, e-SPT ini termasuk program baru sehingga masih terdapat beberapa kekurangan baik pada aplikasi maupun pada regulasinya. Dibalik semua kelebihan dan kekurangannya, kita patut mengapresiasi langkah dan niatan mulia Direktorat Jenderal Pajak tersebut dalam memperbaiki sistem administrasi perpajakan Indonesia. Segala sikap skeptis harus dihilangkan Bagaimanapun juga e-SPT Masa PPh Pasal 21 ini merupakan langkah awal pengembangan SPT menuju e-Bukti Potong dan e-SPT Tahunan PPh Badan pada tahun 2017. DJP tidak akan berhenti untuk melakukan terobosan demi mewujudkan era teknologi informasi perpajakan Indonesia yang efektif dan efisien. Ya, seolah menukil kata Avinas Narula, bahwa “If you continue what you have done in the past, you will get what you have received in the past”.